you save everyone, but who saves you?

Nuriyatul Aini
4 min readNov 4, 2023

--

Langit menjelang malam di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

“Kalau kamu, bagaimana?” tanya laki-laki berjambang halus yang duduk tepat di seberang.

“Apanya?” Aku balik bertanya sembari mengernyitkan dahi — yang sering dilarang bunda, nanti cepat tua, katanya . Aku menatap bingung ke arah Awan, pria yang melontarkan pertanyaan barusan.

Kami memutuskan untuk makan malam setelah ia menjemputku pulang seusai kelas sore hari ini. Ramai pengunjung membuatku penasaran dengan rasanya. Apakah sesuai dengan selera — kami, hanya Awan, atau aku saja.

Sudah terhitung dua puluh sembilan menit kami duduk berbincang. Bertukar kabar mengisi waktu sembari menunggu pesanan. Awan banyak bercerita tentang hidupnya beberapa hari ini. Tentang bagaimana ia menemukan suatu alasan untuk tetap terbangun di pagi hari. Sampai akhirnya aku bisa duduk berhadapan dengannya kini.

Ah, terlalu banyak melamun jadi melantur.

“Hidupmu, Kay. Bagaimana hidupmu akhir-akhir ini? Baik kah? Atau buruk kah?” lanjutnya sambil menerima piring-piring nasi goreng pesanan kami. Sesekali mengucapkan terima kasih sembari tersenyum dan menunduk, khas orang Jawa.

Berusaha mencerna. Buntu. Terlalu berisik di sini. Entah karena pengunjung yang membludak atau isi kepalaku yang terlampau ramai. Aku tidak bisa meluruskan benang yang terlilit di dalam kepala. Aku kesulitan merangkai kata.

Ada jeda cukup lama sebelum aku menjawab pertanyaannya. Ia menatapku lamat-lamat, menunggu dengan seksama.

“Aman,” jawabku pada akhirnya. Hanya satu kata itu yang sanggup kuucap dari sekian kata yang kucoba rangkai dalam kepala bodohku.

Hening. Kami sibuk pada pikiran masing-masing.

“Mau sampai kapan, Kay?”

“Apanya?” pertanyaan yang sama di kali kedua kutujukan untuk Awan. Aku tidak tahu apakah ini salahku yang tidak terlalu menangkap arah bicaranya atau ia yang berbicara semaunya — tidak sesuai S-P-O-K yang sering diajarkan saat sekolah dasar.

“Kamu, Kay. Kamu mau sampai kapan berpura-pura seperti ini? Hidup seolah semua aman dan baik seperti yang kamu katakan tidak mengubah kenyataan bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja.” Ada hembusan nafas berat yang kudengar di akhir kata.

“Semua orang yang kamu selamatkan juga ingin menyelamatkanmu. Tapi apa bisa kami menyembuhkan, sedangkan pemilik luka tidak mengizinkan bahkan cenderung menyangkal?” lanjutnya. Akan kutarik perkataanku tadi soal Awan yang mungkin saja berbicara semaunya, tapi kali ini kupastikan perkataannya barusan jauh dari kata asal. Sungguh.

Alih-alih mulai menyantap nasi goreng pesanan yang sudah dihidangkan, namun melamun adalah sebuah pilihan. Pikiranku terbang entah ke mana. Mulai menenun satu persatu benang ingatan yang lama singgah di kepala. Menghitung berapa nyawa — yang kata Awan, sudah kubantu sembuhkan. Menelan fatwa bahwa nyatanya diri sendiri juga butuh diselamatkan.

“Jangan terus menerus menyangkal, pikirmu terlalu denial, hatimu tidak bisa dibual.”

Sore ini aku irit sekali berbicara. Entah karena enggan atau karena perkataan Awan benar sepenuhnya. Rasanya semua kata yang sudah kurangkai menjadi kalimat utuh selalu berhenti di pangkal tenggorokan.

Apa yang sedari tadi Awan coba katakan, aku akui bahwa seutuhnya tidak ada yang keliru. Tapi jauh di benakku, aku punya banyak alasan mengapa itu semua adalah kebohongan yang seluruhnya bisa ditentang. Hati dan pikiran seakan berperang. Sulit meredam apa yang sudah lama kekal. Menelan mentah-mentah semua sendirian, rasanya adalah hal yang paling ideal.

“Aku tahu betul apa yang kamu bicarakan. Tidak ada yang kusembunyikan, Wan. Sekalipun iya, seperti yang kubilang barusan, semua aman. Tenang, akan ku telan semuanya sendirian,” balasku dengan senyum simpul menenangkan. Kalimat yang sedari tadi kurangkai akhirnya terucap juga.

Kini, ia tampak gusar, sedang aku tersenyum hambar. Membayangkan bagaimana sedari tadi ia sudah susah payah berikhtiar, sedang aku punya alasan seribu miliar.

“Persetan dengan semua amanmu itu. Menelan semuanya sendirian tidak sesederhana yang kamu katakan. Dengar, Kay, semua orang berhak untuk diselamatkan, termasuk dirimu sendiri. Seperti kamu menyelamatkan aku dan teman-teman yang lain, seperti itulah kami juga ingin menyelamatkanmu.

Kamu terlalu sibuk memedulikan semua orang di sekitarmu, sampai lupa bahwa seharusnya yang pertama kamu jaga adalah dirimu sendiri. Dirimu juga berhak didengar. Kamu berhak diusahakan. Kamu berhak untuk tetap hidup di dunia bersama orang-orang yang selalu (dengan senang hati) merayakan kehadiranmu.

Maka, terbukalah, Kay. Kami selalu ada untukmu jika kamu mau.” Rangkaian kalimat panjang sudah di lontarkan Awan.

Aku masih terdiam. Menatap uap teh hangat yang mengepul rasanya lebih menarik dari pembahasan kami sedari tadi. Keras kepala, katanya. Awan tahu betul dengan siapa ia berbicara. Tapi apa salahnya dicoba? Lagipula selama ini rasanya sukar jika sendirinya harus menelan semua.

Menyerah. Sepertinya Awan berhasil menembus apa yang sudah lama kupertahankan mati-matian. Pelan-pelan mencoba menerima apa yang sedang ia diusahakan. Bahwa memendam bukan satu-satunya keharusan dan mengutarakan adalah suatu pilihan.

Semua ini — semua yang dikatakan Awan, sepenuhnya akan kuusahakan.

--

--