Besok Mungkin Kita Sampai

Nuriyatul Aini
2 min readJun 14, 2023

--

Ruangan 3×4 bercat putih dengan dua kursi berhadapan. Terdengar detak jam dinding yang menemani percakapan. Ditemani coklat panas yang baru saja kusajikan di atas meja kayu tua, tepat di antara kami berdua. Kepulnya sedikit samar menghalang pandang.

Di luar hujan. Komplek semakin lenggang. Semua memilih mengunci rumah dari dalam, entah apa yang mereka lakukan. Barangkali ada yang memilih terlelap, menyantap mi rebus, atau boleh jadi sekadar menikmati hujan dengan isi kepala yang entah ke mana. Sialnya, kami berdua memilih opsi ketiga.

Antap. Tak ada yang bercakap. Masing-masing kami sibuk dengan angan-angan yang berkecamuk.

Pagi tadi kabar baik menyapa, entah baik untuk siapa. Tiba-tiba semua mendapat pencapaian yang (kurasa) tidak ada habisnya. Aku senang, tentu saja, tapi yang menjadi pertanyaan, kapan aku mendapatkan giliran?

Apa yang aku pikirkan mungkin sama dengan kalian. Tentang sebuah pencapaian kemudian muncul pertanyaan kapan. Mulai membandingkan lini masa satu dengan yang lainnya. Hanya dua pilihannya, turut serta atau tutup mata.

“Rileks. Kembalikan dirimu ke dalam duniamu yang seutuhnya, bukan ke dalam pusaran air buatan yang kamu ciptakan sendiri di dalam angan.” Kamu menuntunku untuk mengatur napas. Tenang dan teratur, jauh tak seperti isi kepalaku.

“It’s okay to do it at your own pace. There’s no strict timeline for your success and happiness. Don’t let others’ timeline dictate yours,” katamu menutup topik dengan meletakkan cangkir kosong di atas meja.

“Hidup bukan saling mendahului

Bermimpilah sendiri-sendiri.”

--

--