Berapa Harga yang Harus Dibayar untuk Sebuah Ketenangan?

Nuriyatul Aini
2 min readJun 19, 2023

--

TW; may contain sensitive topics (mention of death)

Seribu Tuhan ini berat
Bangun berpura menjadi kuat

Tiga puluh lima menit sebelum pukul tujuh. Pagi ini — dan pagi-pagi sebelumnya — alarm itu tak lagi bersuara. Bukan lupa, memang sengaja, agar niatku untuk tetap terlelap menjadi selamanya.

“Pagi ini aku bangun lagi, Pram,” kataku dengan wajah muram. Tak kudengar lagi helaan napas dari seberang sana. Tak seperti biasanya, batinku.

Entah sudah terhitung berapa kali aku menghubungimu setiap pagi. Tepat setelah aku berhasil membuka mata selepas memejam semalaman — yang kuharap tak berkesudahan.

“Hidup akhir-akhir ini menjadi lebih rumit, Pram.”

Kami terdiam cukup lama. Kubiarkan tanganku memilin ujung kaos yang kukenakan. Aku berkhayal, berpikir tentang pemakaman yang ideal. Mulai merancang di mana ragaku akan dikebumikan dan siapa saja yang akan datang. Ah, terlalu banyak lamunan, pikiranku sulit dikendalikan. Apa ini karena aku sering membaca berita tentang kematian, ya? Tentang mereka yang mulanya berusaha menyembunyikan luka hingga akhirnya menganga juga.

Aku tersenyum geli membayangkan bagaimana ekspresimu di seberang setelah menerka apa yang kupikirkan. Mungkin seperti yang sudah-sudah, kamu hanya menggeleng sembari berdecak pelan. Terlalu ulung untuk memperkirakan.

“Setidaknya sekarang aku masih bertahan, Pram. Itu, ‘kan, yang kamu harapkan?

Meski begitu, bolehkah aku merasa rengsa setelah tahu jika pagi ini bukan tanggal mainnya?”

Aku hanya butuh ketenangan
Ia sangat jauh, hanya angan-angan.

“Bisa tidak aku mati esok hari?” Tanyaku berulang tiap malam pada setiap anasir yang ada di kamar.

Tiap detik menunggu jawaban, tapi di sisi lain aku tidak berharap ada bahana tambahan dalam angan. Terlampau ramai. Lebih ramai dibandingkan celotehan murai.

Menjelang dua, aku masih terjaga. Ada yang bertengkar di kepala. Suaranya tak lebih melengking dibanding detikan jam dinding dan lolongan anjing. Dini hari yang semestinya sunyi justru terasa demikian nyaring.

Rasa sakit merampas setengah waras. Mulutku seolah dipaksa untuk meneguk nestapa, kakiku diikat seakan tak boleh berkelana. Entah siapa yang kusebut apa, yang kutahu, dia merasuki setiap sudut kepalaku dengan begitu ulung. Bersarang di tengah minda, mengacau dengan seribu bala.

Terlalu ingar meskipun sunyi di sekitar.

Sebenarnya — jika boleh kutanya— berapa harga yang harus kubayar untuk satu hari dengan isi kepala yang tenang?

Benar katamu, Pram, pikiran adalah racun paling mematikan.

“Setidaknya sekarang aku masih bertahan, Pram. Itu, ‘kan, yang kamu harapkan?

Meski begitu, bolehkah aku menyusulmu berpulang ke pelukan Tuhan?”

--

--